BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tasyri’
pada periode Sahabat kecil dan Tabi’in ini dimulai oleh Bani Umayyah yang
didirikan oleh Mu’awiyah ibn abi sufyan pada tahun 41 H. Hingga timbul
berbagai segi kelemahan pada kerajaan Arab pada awal abad ke 11 H. Periode ini
disebut ‘Amul Jama’ah karena dimulai dengan bersatunya pendapat jumhur islam.
Hanya saja benih perselisihan politik belum saja padam, masih ada orang yang
menyisihkan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan keluarganya.
Seperti adanya golongan Khawarij dan Syi’ah.
Mulainya Tasyri’ pada periode ini yaitu awal abad ke-2 H.
Dan berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200
tahun yang dikenal dengan fase imam-imam Mujtahidin juga pembukuan dan
pembangunan madzhab. Dengan demikian terbentuklah berbagai macam madzhab dalam
bidang fiqh, yang dipelopori oleh para ulama’ mujtahidin yang menjadi imamnya
dari madzhab-madzhabnya masing-masing.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat
serta membuahkan khazanah okum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan
periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama’ mempunyai
ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat
dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau disebut juga para imam madzhab
dan sahabat-sahabatnya.
B.
Rumusan Masalah
Berikut
rumusan masalah dari latar belakang yang kami buat
- Bagaimana keadaan Tasyri’ pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in?
- Apa saja Faktor yang menyebabkan berkembangnya Tasyri’?
- Apa sumber perundang-undangan Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan Tabi’in?
- Bagaimana penerapan Tasyri’ oleh para sahabt kecil dan tabi’in beserta biografinya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Keadaan
Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir
fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin Bani
Umayyah. Pada fase ini merupakan zaman di mana Islam menempati kejayaannya,
yang banyak memberikan kemajuan-kemajuan yang pesat, fase yang bermula abad
ke-2 H dan berakhir abad ke-4 H, yang kurang lebih berjalan 200 tahun, tepatnya
pada masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (tahun 41 H).
Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir
pemerintahan khalifah Ali adalah Tahkim yaitu perdamaian antara Ali sebagai
khalifah dan Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus. Pendukung Ali
yang tidak menyetujui tahkim membelot dan tidak lagi mendukung Ali, selanjutnya
mereka disebut kelompok Khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan
pembunuhan terhadap Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan umat Islam. ketika itu umat Islam
terpecah menjadi tiga kelompok yaitu penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij),
pengikut setia Ali (Syiah) dan Jumhur Ulama.
Saat itu pandangan pemerintah kepada ilmu pengetahuan
sungguh antusias terbukti dengan banyaknya pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuan
yang terdiri diantaranya tentang hukum-hukum Islam, As-sunnah, Tafsir dll.
Karena banyaknya para sahabat-sahabat yang sudah wafat, maka sebagian sahabat
yang masih hidup adalah sebagai guru dari orang-orang yang meminta fatwa serta
belajar kepadanya, mereka mempunyai hadits-hadits yang diriwayatkan dalam
jumlah yang besar, sebagian diantaranya; Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari
Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, Musnad Abu Bakar
tertulis 84 halaman, Musnad Umar yang tertulis 41 halaman serta Musnad Ali
dalam 85 halaman.
Sumber hukum Islam yang dulunya bermula dipandang hanya
dalam tekstual dan bersifat kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase
keemasan lahir para cendikiawan-cendikiawan muslim yang mampu memberikan
penerangan.
Hukum
yang tak hanya memandang secara teks saja akan tetapi juga konteks, yang
berdasarkan dhuruf wal hal yang seiring berkembang dalam dunia Islam. Selain
terpandang dalam perkembangan pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuannya periode
ini merupakan periode sejarah di mana para Jumhur bersepakat untuk bersatu atau
yang dikenal sebagai Amul Jamaah (tahun persatuan Islam) akan tetapi kondisi
sosial politik juga masih memanas yang berawal pada benih-benih perselisihan
politik yang mengakibatkan perselisihan dan tipudaya terhadap pemerintahan.
Kelompok pembrontak ini terbagi menjadi dua kelompok diantaranya:
a. Golongan Khawarij yang sebagian gerakan politiknya
mengancam untuk membunuh raja yang zhalim dan keluarganya
b. Golongan Syi’ah berpendapat bahwa pemerintahan merupakan
hak Ali dan keluarganya, jadi setiap orang yang merampas hak itu maka ia adalah
zhalim dan pemerintahannya tidak sah.
B.
Faktor Penyebab Berkembangnya Tasyri’
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan
pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan
tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak
perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
diantaranya:
1.
Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij,
Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada
prinsip mereka sendiri.[1]
2.
Perluasan Wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah
berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode
Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2]
dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam,
sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala
sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan
kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3. Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya
dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama
yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu.
Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya
dengan ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian adanya perkembangan
pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum Islam.[3]
4. Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu
Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para
ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama
yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat
terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada
masa hakim saat ini.
5. Lahirnya Para
Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti
Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan
pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum
yang berkembang dalam masyarakat.
6. Kembalinya Penetapan Hukum Pada
Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak
permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu
para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan
permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli
perundang-undangan.
C.
Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber
perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan
pada periode ini ada empat macam,[4]
yakni:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada
kitabulla. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud,
dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi
pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam
perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal
al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris
dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah
mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa
as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan
al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini.
Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz
pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin
muhammad bin Amr bin Hazm:[5]
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan) Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan) Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
D.
Penerapan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri’ dipegang
oleh generasi tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai
keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para
sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima
riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa. Generasi ini memakai khittah yang
telah dilalui oleh para sahabat yaitu kembali kepada dasar-dasar tasyri’ dan
memperhatikan benar-benar prinsip-prinsip yang umum dalam mentasyri’kan hukum.
Karena itu mereka akan memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah
terjadi saja dan karena itulah perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada masa ini pula, mulai timbul pertukaran pikiran dan
perselisihan paham yang meluas yag mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru
dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut dan dalam hal ini
disebabkan oleh perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang
berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran,
tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan daerah (tidak satu
lingkungan), dan cara menggunakan ra’yu yang berbeda. Selain itu, perkembangan
zaman dan perbedaan struktur masyarakat turut mempengaruhi timbulnya
khittah-khittah baru dikalangan pemuka-pemuka tasyri’ tersebut. Telah
dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perselisihan paham dalam menetapkan suatu
hukum, selain beberapa penyebab perbedaan yang telah disebutkan diatas,
terjadinya perselisihan paham sahabat itu karena perbedaan paham dan perbedaan
nash yang sampai kepada mereka Karena pengetahuan mereka tantang hadits yang
tidak sama. Penyebab –penyebab perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam
hal furu’(cabang) dan dalam hal ushul mereka tetap sepakat.
Akan tetapi, pada pertengahan abad kedua hijriah kekuasaan
tasyri’ dikendalikan oleh para mujtahidin ( abu hanifa dan sahabat-sahabatnya,
Malik dan sahabat-sahabatnya, Asy Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan
sahabat-sahabatnya, dsb). Pada abad ini perbedaan yang awalnya tidak meluas
menjadi meluas kepada ushul atau dasar-dasar tasyri’ dan hal ini menyebabkan
pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang masing-masing
mempunyai dasar,aliran,hukum furu’ yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Faktor yang mendorong perkembangan
hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang mengklaim bahwa
dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh
besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa
tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang
selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa
ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara
pemuka tasyri’ yang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami
ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang
maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang
berlainan (tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu yang
berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedakan menjadi dua aliran, yaitu
al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat
perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah
pemikirannya terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah.
Jumhur pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
v Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh
at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
v Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar
ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.
v Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh
al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
v Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Rosda.
v Roibin.
2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
v http://el-ghazali.blogspot.com.
diakses: 17-04-2009,