Selasa, 08 Januari 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasyri’ pada periode Sahabat kecil dan Tabi’in ini dimulai oleh Bani Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyah ibn abi sufyan pada tahun  41 H. Hingga timbul berbagai segi kelemahan pada kerajaan Arab pada awal abad ke 11 H. Periode ini disebut ‘Amul Jama’ah karena dimulai dengan bersatunya pendapat jumhur islam. Hanya saja benih perselisihan politik belum saja padam, masih ada orang yang menyisihkan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan keluarganya. Seperti adanya golongan Khawarij dan Syi’ah.
Mulainya Tasyri’ pada periode ini yaitu awal abad ke-2 H. Dan berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun yang dikenal dengan fase imam-imam Mujtahidin juga pembukuan dan pembangunan madzhab. Dengan demikian terbentuklah berbagai macam madzhab dalam bidang fiqh, yang dipelopori oleh para ulama’ mujtahidin yang menjadi imamnya dari madzhab-madzhabnya masing-masing.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah okum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
B.     Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah dari latar belakang yang kami buat
  1. Bagaimana keadaan Tasyri’ pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in?
  2. Apa saja Faktor yang menyebabkan berkembangnya Tasyri’?
  3. Apa sumber  perundang-undangan Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan Tabi’in?
  4. Bagaimana penerapan Tasyri’ oleh para sahabt kecil dan tabi’in beserta biografinya?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Keadaan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin Bani Umayyah. Pada fase ini merupakan zaman di mana Islam menempati kejayaannya, yang banyak memberikan kemajuan-kemajuan yang pesat, fase yang bermula abad ke-2 H dan berakhir abad ke-4 H, yang kurang lebih berjalan 200 tahun, tepatnya pada masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (tahun 41 H).
Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir pemerintahan khalifah Ali adalah Tahkim yaitu perdamaian antara Ali sebagai khalifah dan Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus. Pendukung Ali yang tidak menyetujui tahkim membelot dan tidak lagi mendukung Ali, selanjutnya mereka disebut kelompok Khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh. Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan umat Islam. ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok yaitu penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syiah) dan Jumhur Ulama.
Saat itu pandangan pemerintah kepada ilmu pengetahuan sungguh antusias terbukti dengan banyaknya pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang hukum-hukum Islam, As-sunnah, Tafsir dll. Karena banyaknya para sahabat-sahabat yang sudah wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru dari orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya, mereka mempunyai hadits-hadits yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar, sebagian diantaranya; Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, Musnad Abu Bakar tertulis 84 halaman, Musnad Umar yang tertulis 41 halaman serta Musnad Ali dalam 85 halaman.
Sumber hukum Islam yang dulunya bermula dipandang hanya dalam tekstual dan bersifat kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase keemasan lahir para cendikiawan-cendikiawan muslim yang mampu memberikan penerangan.
Hukum yang tak hanya memandang secara teks saja akan tetapi juga konteks, yang berdasarkan dhuruf wal hal yang seiring berkembang dalam dunia Islam. Selain terpandang dalam perkembangan pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuannya periode ini merupakan periode sejarah di mana para Jumhur bersepakat untuk bersatu atau yang dikenal sebagai Amul Jamaah (tahun persatuan Islam) akan tetapi kondisi sosial politik juga masih memanas yang berawal pada benih-benih perselisihan politik yang mengakibatkan perselisihan dan tipudaya terhadap pemerintahan. Kelompok pembrontak ini terbagi menjadi dua kelompok diantaranya:
a. Golongan Khawarij yang sebagian gerakan politiknya mengancam untuk membunuh raja yang zhalim dan keluarganya
b. Golongan Syi’ah berpendapat bahwa pemerintahan merupakan hak Ali dan keluarganya, jadi setiap orang yang merampas hak itu maka ia adalah zhalim dan pemerintahannya tidak sah.

B.     Faktor Penyebab Berkembangnya Tasyri’
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.   Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri.[1]
2.   Perluasan Wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.   Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum Islam.[3]
4.    Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.      Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6.      Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.








C. Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,[4] yakni:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm:[5]
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan) Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]



D. Penerapan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri’ dipegang oleh generasi tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa. Generasi ini memakai khittah yang telah dilalui oleh para sahabat yaitu kembali kepada dasar-dasar tasyri’ dan memperhatikan benar-benar prinsip-prinsip yang umum dalam mentasyri’kan hukum. Karena itu mereka akan memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja dan karena itulah perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada masa ini pula, mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan paham yang meluas yag mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut dan dalam hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan daerah (tidak satu lingkungan), dan cara menggunakan ra’yu yang berbeda. Selain itu, perkembangan zaman dan perbedaan struktur masyarakat turut mempengaruhi timbulnya khittah-khittah baru dikalangan pemuka-pemuka tasyri’ tersebut. Telah dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perselisihan paham dalam menetapkan suatu hukum, selain beberapa penyebab perbedaan yang telah disebutkan diatas, terjadinya perselisihan paham sahabat itu karena perbedaan paham dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka Karena pengetahuan mereka tantang hadits yang tidak sama. Penyebab –penyebab perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam hal furu’(cabang) dan dalam hal ushul mereka tetap sepakat.
Akan tetapi, pada pertengahan abad kedua hijriah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para mujtahidin ( abu hanifa dan sahabat-sahabatnya, Malik dan sahabat-sahabatnya, Asy Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan sahabat-sahabatnya, dsb). Pada abad ini perbedaan yang awalnya tidak meluas menjadi meluas kepada ushul atau dasar-dasar tasyri’ dan hal ini menyebabkan pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang masing-masing mempunyai dasar,aliran,hukum furu’ yang berbeda.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka tasyri’ yang disebabkan oleh  perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan (tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedakan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah pemikirannya terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah. Jumhur pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.












DAFTAR PUSTAKA

v  Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
v  Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.
v  Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
v  Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung: Rosda.
v  Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
v  http://el-ghazali.blogspot.com. diakses: 17-04-2009,



[1].  Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
[2].  Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.

[3].  Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
[4] . Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung: Rosda
[5] . Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
[6] . http://el-ghazali.blogspot.com. diakses: 17-04-2009,